Seragam sekolah adalah penyebab pertama mahalnya biaya bersekolah para siwa di Indonesia. Aneh, kok seragam sekolah? Tentu saja. Tidak ada anak Indonesia yang mau bersekolah jika mereka tidak memilik seragam. Bahkan mereka yang bisa bersekolah tanpa seragam pun justru merasa belum menjadi murid sungguhan karena belum punya seragam sekolah. Tanpa disadari, komponen kecil yang satu ini menjadi momok tersendiri bagi para orang tua murid dan murid sekolah di Indonesia. Tak perlu susah memikirkannya seperti apa. Saat anak masuk sekolah pertama kali, kelas satu SD, mereka sudah wajib memiliki seragam. Sekaya apapun anak tersebut, dia tidak boleh menjadi murid di suatu sekolah apabila ia belum memilik seragam. Kalau anak orang kaya saja tidak boleh bersekolah tanpa seragam apalagi orang miskin. Tidak sampai di situ saja, membeli seragam sekolah pun tidak bisa cuma sekali. Seiring dengan perkembangan fisik anak, orang tua setiap tahun harus memperbaharui baju sekolah anak mereka. Makin cepat perkembangan fisik seorang anak, makin sering pula orang tua harus membeli seragam baru bagi anaknya. Kalau anaknya cuma satu masih enak. Bagaimana yang anakya lebih dari satu? Punya dua pasang anak kembar? Belum sampai di situ, seragam siswa SD, SMP, dan SMA memiliki perbedaan. Baju seragam putih tapi celananya merah (SD), biru (SMP), dan abu-abu (SMA). Dan yang membuat lebih repot lagi adalah kecenderungan setiap sekolah untuk mengharuskan siswanya memakai seragam khusus, batik, pada hari tertentu. Seolah belum cukup membebani orang tua siswa dengan membeli seragam harian, misalnya putih abu-abu (SMA), orang tua harus mengeluarkan anggaran lagi untuk membeli seragam batik. Entah siapa pula yang mengeluarkan gagasan ini kepada sekolah-sekolah di negara ini. Padahal dulu, murid sekolah, SMP dan SMA, hanya memekai seragam harian saja tanpa ada keharusan memakai baju batik pada hari khusus. Dengan cara ini, pemerintah dan sekolah telah sukses melakukan konspirasi dalam membuat biaya bersekolah menjadi lebih mahal dibandingkan dua dekade yang lalu. Kalau argumentasi ini masih diragukan, bagi anda yang sudah memiliki anak, mulailah berhitung tentang uang yang sudah dihabiskan untuk biaya seragam anak anda sendiri mulai dari SD hingga SMA. Cari lagi bon-bon pembelian seragam sekolah itu dan jangan lupa untuk menyesuaikan uang yang telah dikeluarkan dulu dengan tingkat inflasi sekarang.
Beban biaya sekolah juga disebabkan oleh komponen buku pelajaran. Dari dulu sampai sekarang, orang tua murid harus menyediakan sendiri buku pelajaran sekolah bagi anak-anak mereka. Buku apa yang digunakan oleh murid sekolah tergantung dari persetujuan bisnis antara pihak sekolah dan penerbit buku. Seandainya orang tua murid harus membeli buku dari penerbit A dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar, maka ini bukan perkara besar. Sayangnya, pengandaian itu selamanya terjadi dalam kenyataan. Tidak jarang harga buku yang dijual di sekolah lebih tinggi daripada harga pasar, harga toko buku. Ini bisa terjadi karena, satu, adanya oknum sekolah yang ingin meraup keuntungan sendiri dan karena penerbit buku harus membayar komisi besar kepada sekolah sehingga mereka membebankan biaya komisi itu pada orang tua murid. Dalam situasi ini, orang tua murid yang kritis bisa saja menolak membeli buku dari sekolah dan mencari sendiri di toko buku yang ada di sekitarnya, yang tentunya tidak bisa dilarang oleh pihak sekolah. Namun yang terjadi pada anak orang tua murid itu bisa ditebak. Anak itu akan disindir dan dicela oleh oleh pihak sekolah--guru, staf sekolah atau, bahkan, kepala sekolahnya sendiri. Yang dilakukan oleh pihak sekolah jelas salah sedangkan yang dilakukan oleh orang tua murid adalah benar. Dan yang menjadi korban adalah si murid itu sendiri. Dia menderita dan bisa mengalami depresi. Tidak membeli buku dari sekolah tiba-tiba menjadi sebuah dosa atau aib bagi diri murid itu. Pengadaan buku secara gratis dengan sistem online oleh DikNas, seperti yang dilakukan tahun lalu, ternyata belum bisa menyelesaikan persoalan mahalnya pengadaan buku. Belum tersediannya fasilitas internet yang menjangkau masyarakat di daerah pedesaan atau terpencil menjadi kendala bagi para murid dan orang tuanya. Pun, seandainya mereka memiliki akses ke internet, biaya pencetakan buku menjadi kendala lainnya. Untuk membuat masalah menjadi lebih rumit, DikNas memilik hobi untuk mengganti-ganti kurikulum nasional sesuka hatinya. Penggantian kurikulum jelas akan berimbas pada buku pelajaran para murid. Sewaktu bersekolah dulu, buku pelajaran saya masih bisa dipakai oleh adik saya, yang duduk dua kelas di bawah saya, karena kurikulum nasional tidak mengalami perubahan yang berarti, dari tahun 1984 loh.
Biaya-biaya tambahan saat bersekolah menjadi penyebab ketiga dari mahalnya bersekolah di Indonesia. Biasanya, pengeluaran rutin orang tua murid untuk biaya sekolah anaknya adalah:
1. Iuran sekolah (bulanan, puji syukur kalau tidak pernah naik)
2. Seragam (tahunan, syukur kalau badan anaknya tidak melebar ke samping)
3. Buku pelajaran (tahunan, Berat memang kalau anak terus naik kelas tapi siapa yang mau anaknya tidak pernah naik kelas)
4. Biaya Study Tour (biasanya cuma sekali, buat SMP dan SMA, dan ini juga tergantung tempat tujuan kunjungannya, makin jauh makin mahal)
2. Seragam (tahunan, syukur kalau badan anaknya tidak melebar ke samping)
3. Buku pelajaran (tahunan, Berat memang kalau anak terus naik kelas tapi siapa yang mau anaknya tidak pernah naik kelas)
4. Biaya Study Tour (biasanya cuma sekali, buat SMP dan SMA, dan ini juga tergantung tempat tujuan kunjungannya, makin jauh makin mahal)
Sayangnya, pengeluaran rutin ini menjadi tidak rutin apabila sekolah menambahkan biaya lain yang tidak jelas. Misalnya biaya acara pesta perpisahan untuk murid tingkat akhir. Biaya ini harusnya tidak dibebanka bagi murid kelas satu dan dua. Kalau murid kelas tiga ingin mengadakan pesta perpisahan sendiri, mereka harusnya mengumpulkan uang dari diri mereka sendiri. Contoh biaya tidak jelas lainnya adalah penggalangan dana untuk keperluan yang dibuat-dibuat, seperti, pelepasan pensiun pegawai sekolah, pembelian sarana sekolah, penggalangan dana untuk guru yang sedang berduka atau melahirkan, dan lainnya. Lah, itu anggaran sekolah dari pemerintah dikemanakan? Masak untuk acara seperti itu masih orang tua murid pula yang harus menanggungnya. Ada guru yang pensiun, orang tua murid pula yang menanggung pesangonnya. Situ enak, orang tua murid yang susah. Permasalahan ini menjadi berat kerena, terkadang, biaya sekolah yang tidak rutin ini sifatnya tidak boleh sukarela. Saya tidak keberatan dengan kegiatan penggalangan dana untuk kegiatan sosial seperti bantuan bagi korban bencana alam, teman sekolah yang berduka, pembelian kupon PMI atau acara sekolah (Pentas Seni). Kegiatan yang disebutkan tadi memang memiliki misi sosial dan tidak terkesan menguntungkan satu pihak tertentu.
Dari ketiga hal yang sudah disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa menggratiskan biaya sekolah di Indonesia adalah hal yang hampir mustahil. Ini sangat diyakini karena pemerintah Indonesia tidak akan pernah punya uang untuk memberi seragam apalagi memperbaharui seragam sekolah setiap murid di Indonesia. Pemeritah juga tidak akan sanggup memberikan buku-buku gratis apabila kurikulum nasional terlalu sering berganti-ganti. Dan yang lebih mustahil adalah membuat anggaran untuk mendanai kegiatan-kegiatan sekolah yang di luar kurikulum dan di luar urusan mengajar belajar. Karena itu, setiap usaha untuk menggratiskan biaya bersekolah para murid di negara ini sebaiknya dialihkan pada pencarian cara untuk mengurangi biaya sekolah para murid-murid Indonesia. Sikap ini jauh lebih realistis dan layak untuk diperjuangkan oleh para anggota DPR, staf DikNas, dan seluruh rakyat Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar